Oleh: Irma Syuryani Harahap
Editor: Ryo Disastro
Biasanya secangkir cokelat panas mampu mengusir sunyi di malam hari. Namun kali ini, kesunyian seolah kian tebal. Rindu yang jauh di belahan Eropa membuatku teringat pada harapan: membangun bahtera rumah tangga dengan setia, sambil tetap menulis tentang sesuatu yang lebih besar dari diriku—tentang negeri ini. Tentang bagaimana sistem ekonomi politik kita seharusnya berjalan.

Ekonomi Pancasila sebagai jalan tengah.
Fondasi Filosofis
Sistem Ekonomi Politik Pancasila bukan sekadar teori di ruang kuliah. Ia adalah refleksi dari cita-cita bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan bersama tanpa meninggalkan nilai kemanusiaan, gotong royong, dan kedaulatan rakyat.
Sistem ini berakar pada:
Pasal 33 UUD 1945, yang menekankan asas kekeluargaan dan penguasaan negara atas cabang produksi vital.
Lima sila Pancasila, yang menjadi pedoman moral dan sosial dalam setiap kebijakan ekonomi dan politik.
Prinsip-Prinsip Utama
1. Keadilan Sosial: Ekonomi harus berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya elite atau korporasi global.
2. Demokrasi Ekonomi: Keputusan ekonomi melibatkan partisipasi masyarakat.
3. Kekeluargaan dan Gotong Royong: Menolak eksploitasi, mendorong kerja sama.
4. Peran Negara Aktif: Negara mengelola sektor vital demi kemakmuran rakyat.
5. Keseimbangan Individu dan Kolektif: Hak milik pribadi diakui, namun kepentingan umum tetap diutamakan.
Implementasi nyata prinsip ini terlihat dalam koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat, BUMN yang mengelola sektor strategis, regulasi anti-monopoli, hingga dukungan bagi UMKM dan desa.
Tokoh Inspiratif: Arif Budimanta
Arif Budimanta, seorang ekonom sekaligus politisi, dikenal sebagai salah satu tokoh yang konsisten memperjuangkan gagasan Ekonomi Pancasila di ruang akademik maupun politik. Ia menggagas konsep Pancasilanomics, sebuah pendekatan yang menolak ekstremitas liberalisme pasar bebas dan menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai ukuran utama pembangunan. Dalam bukunya Ekonomi Pancasila dalam Gerak, Arif menekankan pentingnya keberpihakan nyata terhadap kelompok rentan seperti petani, nelayan, serta pelaku usaha kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

arif budimanta
Lebih dari sekadar konsep, Arif berupaya menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan publik. Ia percaya bahwa pembangunan tidak boleh sekadar mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga harus menjawab persoalan ketimpangan sosial dan keterpinggiran ekonomi rakyat kecil. Pandangannya menempatkan koperasi dan usaha mikro sebagai ujung tombak demokrasi ekonomi, seraya menegaskan peran negara dalam mengelola cabang produksi vital agar tidak jatuh ke tangan segelintir elit atau modal asing. Baginya, keberhasilan ekonomi harus diukur dari meningkatnya kualitas hidup rakyat kebanyakan, bukan hanya dari laporan statistik makroekonomi.
Di sisi lain, Arif juga menjadi penghubung penting antara dunia intelektual, politik, dan gerakan sosial. Ia aktif membangun wacana bahwa Ekonomi Pancasila bukan hanya doktrin ideologis, melainkan sebuah praktik nyata yang dapat diterapkan dalam era globalisasi. Melalui forum-forum akademik, diskusi publik, dan perannya di lembaga pemerintahan, ia mendorong lahirnya kebijakan fiskal, moneter, dan pembangunan daerah yang lebih berpihak pada rakyat. Kehadirannya menjadi inspirasi bahwa perjuangan mewujudkan Ekonomi Pancasila membutuhkan kombinasi antara gagasan intelektual yang kuat, keberanian politik, dan kedekatan dengan realitas sosial di akar rumput.
Tantangan dan Harapan
Meskipun sistem Ekonomi Politik Pancasila menawarkan visi yang ideal, realitas yang dihadapi jauh dari sederhana. Kapitalisme global dengan segala instrumen dan mekanismenya terus menekan sistem ekonomi nasional, menciptakan ketimpangan sosial, dan menggiring kebijakan ekonomi kita agar lebih teknokratik daripada berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Ketimpangan sosial masih menjadi luka lama yang belum kunjung sembuh. Kelompok elit ekonomi dan politik sering kali lebih diuntungkan dibandingkan rakyat kecil. Padahal, esensi dari Pancasila adalah memastikan bahwa kesejahteraan rakyat tidak hanya menjadi jargon politik, melainkan kenyataan sehari-hari yang dirasakan oleh petani, nelayan, buruh, dan pelaku usaha kecil.
Namun, harapan tetap menyala. Dengan pendidikan yang menanamkan nilai kebangsaan, partisipasi publik yang semakin luas, serta keberanian politik untuk berpihak kepada rakyat, sistem Ekonomi Politik Pancasila bisa dihidupkan kembali sebagai jalan tengah yang adil. Harapan ini bukan sekadar utopia, melainkan visi yang bisa diwujudkan jika bangsa ini memiliki keberanian untuk mengembalikan roh Pancasila ke dalam kebijakan ekonomi dan politik.
Pengaruh Kapitalisme Global
Pengaruh kapitalisme global terhadap Indonesia tampak begitu nyata. Privatisasi dan deregulasi yang didorong oleh pasar bebas sering mengurangi kontrol negara atas sektor-sektor vital. Energi, transportasi, bahkan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat, sedikit demi sedikit dialihkan kepada pihak swasta, termasuk investor asing. Hal ini menimbulkan risiko hilangnya kedaulatan ekonomi, karena negara semakin bergantung pada modal global untuk menggerakkan pembangunan.
Selain itu, dominasi korporasi transnasional semakin menekan pelaku usaha lokal. Perusahaan multinasional yang memiliki teknologi canggih dan modal besar mampu menguasai pasar dengan mudah, meninggalkan koperasi dan UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung Ekonomi Pancasila. Nilai-nilai gotong royong tergeser oleh logika individualisme kapitalistik yang menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama. Dampaknya adalah meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi antara kaya dan miskin, kota dan desa. Jurang kesenjangan ini mencederai sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tekanan juga datang dari lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Dengan alasan efisiensi, mereka mendorong liberalisasi ekonomi melalui paket pinjaman dan program penyesuaian struktural. Indonesia beberapa kali harus mengikuti resep mereka, terutama saat krisis moneter 1997–1998, yang justru semakin memperdalam ketergantungan pada model kapitalis global.
Aktor yang Membawa Kapitalisme
Masuknya kapitalisme global ke Indonesia tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui berbagai aktor yang memegang peran penting. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto bersama teknokrat yang dikenal sebagai Mafia Berkeley membuka pintu selebar-lebarnya bagi modal asing. Dengan dukungan militer dan birokrat, kebijakan ekonomi diarahkan untuk melayani investasi global, sementara kepentingan rakyat sering terpinggirkan.
Lembaga keuangan internasional juga menjadi aktor penting. IMF dan Bank Dunia tidak sekadar memberi pinjaman, tetapi menyertakan syarat-syarat yang memaksa Indonesia melakukan privatisasi BUMN, menghapus subsidi, dan membuka pasar domestik bagi produk asing. Korporasi multinasional pun memanfaatkan situasi ini dengan masuk ke sektor-sektor strategis seperti energi, tambang, dan manufaktur, sehingga memperkuat dominasi modal global di negeri ini.
Di sisi lain, elit ekonomi domestik ikut mengambil keuntungan. Konglomerat besar yang dekat dengan lingkaran kekuasaan menjadi perantara antara modal global dan pasar lokal, memperkuat struktur kapitalisme kroni. Bahkan setelah Reformasi, teknokrat baru melanjutkan kebijakan pasar bebas dengan alasan meningkatkan daya saing. Padahal, logika ekonomi semacam ini semakin menjauhkan Indonesia dari cita-cita Ekonomi Pancasila.
Asal-Usul “Elit Global”
Istilah “elit global” sering dianggap misterius, namun sebenarnya ia adalah hasil akumulasi kekuasaan ekonomi, politik, dan teknologi yang berakar jauh ke belakang. Sejak zaman feodalisme dan imperialisme, kekuasaan terkonsentrasi pada bangsawan dan raja yang menguasai tanah serta sumber daya. Ketika Revolusi Industri meletus, kekuasaan itu beralih kepada pemilik modal industri dan bankir internasional. Keluarga Rothschild dan Rockefeller, misalnya, menjadi simbol kapitalisme modern yang memanfaatkan jaringan keuangan global untuk mengendalikan arah perekonomian dunia.

ilustrasi Elit Global
Setelah Perang Dunia II, kekuatan ini dilembagakan melalui institusi global seperti IMF, Bank Dunia, dan PBB. Lembaga-lembaga tersebut menjadi sarana koordinasi ekonomi-politik global, meskipun sering kali lebih berpihak pada kepentingan negara-negara kuat dan korporasi besar. Forum-forum eksklusif seperti World Economic Forum, Trilateral Commission, dan Bilderberg Group mempertegas dominasi elit global dalam menentukan arah kebijakan dunia. Meski tidak secara formal membuat aturan, pengaruh mereka dalam membentuk narasi dan agenda global begitu besar.
Sebagian kalangan menafsirkan keberadaan elit global ini dalam narasi konspiratif seperti Illuminati atau New World Order. Namun, terlepas dari spekulasi tersebut, yang jelas adalah adanya jaringan kekuasaan ekonomi-politik yang terpusat, yang sering kali bertolak belakang dengan kepentingan bangsa-bangsa berkembang. Bagi Indonesia, tantangannya adalah bagaimana tetap berdaulat secara ekonomi dan budaya, dengan menjadikan Ekonomi Pancasila sebagai penyeimbang di tengah arus global yang deras.
Kesimpulan
Kapitalisme global memang telah membawa pertumbuhan ekonomi dalam bentuk investasi, perdagangan, dan teknologi baru. Namun, di balik pertumbuhan tersebut, muncul pula wajah lain yang sering diabaikan: jurang ketimpangan yang semakin lebar, konsentrasi kekayaan pada segelintir elit, serta terkikisnya kedaulatan ekonomi rakyat. Indonesia, dengan segala potensi sumber daya dan budaya kolektifnya, kerap diposisikan hanya sebagai penyedia pasar dan bahan mentah dalam rantai kapitalisme global. Dalam kondisi seperti ini, prinsip kedaulatan ekonomi sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa kembali digugat relevansinya.
Di sinilah Ekonomi Politik Pancasila menemukan pijakan yang kuat. Ia hadir bukan hanya sebagai teori, melainkan sebagai jalan tengah yang menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keadilan sosial. Ekonomi Pancasila mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh sekadar mengejar angka pertumbuhan makro, tetapi harus memastikan kesejahteraan mikro yang menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat kecil. Ia menolak dominasi logika pasar yang eksploitatif, dan sebaliknya mengedepankan asas kekeluargaan, gotong royong, serta keberpihakan pada mereka yang lemah. Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar ideologi, melainkan instrumen praktis untuk mengarahkan pembangunan agar berkeadilan.
Lebih jauh lagi, Ekonomi Politik Pancasila adalah jalan hidup bangsa yang ingin tetap berdiri tegak di tengah derasnya arus globalisasi. Ia menegaskan bahwa keterbukaan terhadap dunia luar tidak harus berarti menyerahkan kedaulatan pada modal asing atau tunduk pada regulasi internasional yang merugikan rakyat. Sebaliknya, globalisasi harus disikapi dengan kearifan lokal, sehingga nilai kemanusiaan, solidaritas sosial, dan persatuan bangsa tetap menjadi fondasi. Dengan memperkuat koperasi, BUMN strategis, serta perlindungan terhadap UMKM dan petani, Indonesia bisa membuktikan bahwa ada model pembangunan alternatif—sebuah sistem yang bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga mewariskan keadilan dan kedaulatan bagi generasi mendatang.(*)
0 Comments