KALA PALA MENGGUNCANG DUNIA

by | Oct 13, 2025 | Artikel | 0 comments

Irma Syuryani Harahap
Kontributor

Di kala cuaca dingin menyelimuti dari sore hingga malam, tanpa sengaja aku meracik minuman herbal. Di meja dapur ada sebutir nanas yang sejak siang hanya kuangguri. Tiba-tiba saja, muncul ide sederhana: mengubahnya menjadi ramuan hangat untuk menemaniku malam ini. Biarlah ia mengalirkan kehangatan ke tubuh dan jiwaku, menyegarkan kembali tenaga yang terkuras oleh rutinitas sehari-hari. Dalam diam, pikiranku melayang — membayangkan si dia yang jauh di sana, seandainya ikut duduk di sampingku, menyeruput ramuan ini bersama.

Anehnya, malam ini bukan tentang nanas. Ada satu rempah lain yang menari dalam pikiranku — pala. Jari-jariku yang mungil mulai mengetik di atas keyboard, dan imajinasi pun mengalir. Pala, rempah kecil yang dulu menjadi rebutan bangsa-bangsa besar dunia. Aku bertanya pada diri sendiri: ada apa denganmu, pala?

Asal Usul Pala: Dari Kebun Banda ke Peta Dunia

Mari kita bayangkan sejenak sebuah gugusan pulau kecil di timur Indonesia, di mana angin laut berhembus lembut membawa aroma rempah. Di situlah pala tumbuh — di Kepulauan Banda, Maluku. Si kecil yang harum ini dulu mengguncang dunia. Sejak abad ke-15, bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda berlayar ribuan mil hanya untuk satu tujuan: mencari rempah yang tumbuh di tanah tropis ini.

Bagi masyarakat Banda, pala bukanlah emas. Ia bagian dari kehidupan sehari-hari — ditanam di kebun, dirawat dengan adat, dan digunakan untuk ramuan penyembuh. Tapi bagi bangsa asing, pala adalah komoditas yang nilainya melampaui emas. Mereka datang, berperang, dan menumpahkan darah demi menguasainya.

Salah satu peristiwa paling ironis dalam sejarah adalah Perjanjian Breda tahun 1667. Dalam perjanjian itu, Belanda dan Inggris bertukar wilayah: Pulau Rhun di Banda, yang kaya pala, ditukar dengan Pulau Manhattan — yang kini menjadi New York City. Betapa berharganya pala hingga Manhattan dilepas demi sepotong pulau kecil di Maluku.

Pala dan Perdagangan Global

Pada abad ke-15 hingga ke-17, dunia memasuki era eksplorasi maritim. Kapal-kapal berlayar mencari “pulau rempah,” dan Banda menjadi episentrum perebutan. Pala bukan hanya penghangat tubuh, tapi juga simbol status. Di Eropa, hanya bangsawan yang mampu membelinya. Harga sekilonya setara dengan emas.

Namun di balik harum rempah itu, darah mengalir deras. Tahun 1621, Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC, memimpin pembantaian massal di Banda. Ribuan penduduk asli dibunuh atau diperbudak demi monopoli pala. Sejak saat itu, sistem perkebunan Belanda mengambil alih tanah Banda. Penduduk Jawa, Bali, dan Sulawesi didatangkan sebagai pekerja paksa. Masyarakat lokal kehilangan segalanya — tanah, budaya, bahkan nama.

Kolonialisme tak hanya mencuri rempah, tapi juga mencabut akar peradaban. Perempuan Banda, yang dulu menjadi penjaga kebun dan peracik ramuan, tersingkir dari ruang hidupnya. Namun, di tengah kepedihan itu, semangat perlawanan tetap hidup melalui tradisi Sasi, adat yang melarang panen sebelum waktunya. Sasi bukan sekadar aturan panen, melainkan bentuk perlawanan ekologis dan spiritual: menjaga bumi dari kerakusan manusia.

Pala Sebagai Warisan Budaya

Meski masa kolonial telah lama berlalu, pala tetap menjadi denyut kehidupan Banda. Di setiap musim panen, masyarakat masih mengadakan ritual adat — doa, musik, dan pantun — untuk menghormati bumi. Dari kebun hingga dapur, pala diolah menjadi minyak pijat, wedang hangat, dan manisan manis pedas yang menggugah lidah.

Perempuan Banda memetik Pala

Perempuan tetap menjadi jiwa dari tradisi ini. Mereka bukan hanya pelestari, tapi juga penutur sejarah. Di tangan mereka, pala bukan sekadar bumbu, tapi simbol cinta, ketekunan, dan kesetiaan terhadap tanah. Dalam syair dan lagu rakyat, pala menjadi metafora kerinduan dan harapan.

Kini, pala juga menemukan wajah barunya. Di Banda dan Maluku, masyarakat mulai membangun kembali kebun pala rakyat, mengolahnya menjadi minyak esensial dan produk kesehatan modern. Pala tak lagi sekadar kenangan kolonial, tetapi sumber ekonomi berbasis tradisi yang memberi martabat bagi generasi baru.

Refleksi dan Harapan

Sambil menyeruput ramuan nanas yang mulai dingin, aku membayangkan perempuan-perempuan Banda di masa lalu. Mereka mungkin duduk seperti aku — di bawah lampu minyak, mengupas buah pala sambil bercerita. Tapi di balik tawa mereka, tersimpan luka sejarah. Air mataku menetes tanpa terasa.

Namun sejarah tak berhenti di sana. Dari rempah yang dulu menjadi alat penjajahan, lahirlah semangat kebangkitan. Pala mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah yang bisa dijarah atau diekspor, tapi yang bisa diwariskan dan dimaknai bersama.

Kini, di tengah dunia yang kembali mencari keseimbangan antara alam dan manusia, pala Banda hadir sebagai pengingat: bahwa Indonesia pernah menjadi pusat dunia. Dan mungkin, dengan kesadaran dan cinta terhadap warisan ini, kita bisa menjadi pusat dunia sekali lagi. Kubuat sekelumit puisi ini menjadi media refleksi kita terhadap pala:

Jejak Pala di Tanah Banda

Di tanah kecil yang harum rempah,
tumbuh pala, biji mungil penuh sejarah.
Dunia datang membawa kapal dan senjata,
Banda pun menangis dalam sunyi yang tak terjaga.
Perjanjian ditulis di meja penjajah,
Manhattan ditukar, Rhun pun menyerah.
Tapi di kebun, perempuan tetap meracik ramuan,
menyembuhkan luka dengan cinta dan ketekunan.
Sasi menjaga waktu, bukan hanya panen,
tapi juga martabat, adat, dan harapan yang tak lenyap.
Pala bukan sekadar komoditas,
ia adalah warisan, perlawanan, dan cahaya yang tak habis.

Pala bukan sekadar rempah kecil yang tumbuh di sudut timur Nusantara. Ia adalah saksi bisu antara kekayaan dan kerakusan, antara adat dan ambisi. Dari Banda, pala mengubah dunia — sekaligus mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati hanya tumbuh ketika manusia hidup selaras dengan alam dan sejarahnya.

Kini saatnya bangsa ini kembali ke akarnya: rempah sebagai kekuatan, budaya sebagai jiwa, dan perempuan sebagai penjaganya. Sebab, dari pala kita belajar — bahwa hal kecil, bila dirawat dengan cinta, bisa mengguncang dunia.(*)

Related Posts

PANCASILA DAN JALAN TENGAH EKONOMI KITA

Oleh: Irma Syuryani Harahap Editor: Ryo Disastro Biasanya secangkir cokelat panas mampu mengusir sunyi di malam hari. Namun kali ini, kesunyian seolah kian tebal. Rindu yang jauh di belahan Eropa membuatku teringat pada harapan: membangun bahtera rumah tangga dengan...

read more

ANTOLOGI PANTUN BANREHI

Ngopi pagi di warung sederhana, Roti goreng jadi temannya. Hanya satu jalan untuk bangsa, Kembali tegak: Ekonomi Pancasila. Ngopi pagi di warung desa, aroma rempah harum ke mana-mana. Tim Banrehi satukan asa, bawa Pancasila jaga ekonomi bangsa. Kalau ke kramat jati,...

read more

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *