Oleh: Santhi Pertiwi – Universitas Mohammad Husni Thamrin
Editor: Ryo Disastro
Revolusi digital sedang melanda dunia. Internet, kecerdasan buatan (AI), big data, hingga Internet of Things (IoT) telah mengubah hampir semua aspek kehidupan manusia. Indonesia tidak terkecuali. Di satu sisi, digitalisasi membuka peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi, inklusi keuangan, dan pelayanan publik yang lebih baik. Namun, di sisi lain, tanpa kebijakan yang tepat, teknologi ini bisa memperlebar jurang kesenjangan sosial dan mengancam kedaulatan data bangsa.
Menurut laporan Stekom (2022), pasar IoT di Indonesia diperkirakan mencapai USD 40 miliar pada 2025 dengan sekitar 678 juta perangkat yang terhubung. Perangkat itu akan hadir di sektor kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga pertanian. Sementara itu, digitalisasi layanan keuangan melalui dompet digital dan sistem pembayaran instan membuat lebih banyak masyarakat terlibat dalam kegiatan ekonomi. Tetapi, masih ada hambatan berupa literasi teknologi dan infrastruktur yang belum merata (Sihojurnal, 2023).
Di tengah gelombang teknologi global, Indonesia sebenarnya punya pedoman: Ekonomi Pancasila. Sistem ini menekankan gotong royong, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat. Prinsip-prinsip itu bisa menjadi kompas agar transformasi digital tidak hanya menguntungkan segelintir orang, melainkan menjadi sarana kesejahteraan bersama. Dengan visi Indonesia Emas 2045, negara kita bercita-cita menjadi bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur—dan teknologi digital harus ikut mempercepat langkah menuju ke sana.
Pendidikan: Kunci Generasi Digital
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan adalah ujung tombak. Sekolah dan universitas bukan hanya bertugas mengajarkan keterampilan digital, tetapi juga menanamkan etika bermedia dan literasi teknologi. Harapannya, generasi muda bukan sekadar penggu

Kepemimpinan di Era Digital – Ilustrasi oleh AI
na pasif, tetapi juga pencipta solusi yang relevan dengan tantangan bangsa.
Bayangkan sebuah sekolah di pelosok yang bisa mengakses e-learning berkualitas sama dengan sekolah di kota besar. Atau seorang guru yang diperlengkapi dengan pelatihan digital sehingga bisa memanfaatkan aplikasi pembelajaran modern. Itulah potensi nyata jika kepemimpinan pendidikan dijalankan dengan visi jelas dan strategi inklusif.
Penelitian oleh Meilani Kasim dan Priadi Surya, misalnya, menunjukkan bahwa kepemimpinan digital kepala sekolah berdampak positif terhadap kemampuan guru menggunakan teknologi. Namun, ada tantangan berupa keterbatasan infrastruktur dan literasi digital tenaga pengajar. Penelitian lain oleh Hidayat dan Patras menyoroti pentingnya kemampuan komunikasi digital dan ketahanan digital, yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pemimpin sekolah.
Transformasi digital juga terlihat di madrasah. Penelitian Pusvyta Sari dkk. menemukan bahwa kepala madrasah berperan besar dalam mendorong inovasi melalui kebijakan digitalisasi administrasi dan pembelajaran. Bahkan, mulai muncul aplikasi Islami berbasis e-learning yang memadukan nilai agama dengan teknologi multimedia.
Sementara itu, di perguruan tinggi, perubahan lebih terasa dengan penggunaan sistem pembelajaran campuran (blended learning), kecerdasan buatan untuk menilai mahasiswa, hingga digitalisasi layanan administrasi akademik. Langkah ini membuat pembelajaran lebih fleksibel dan mahasiswa lebih mandiri.
Peran Kepemimpinan dalam Transformasi Digital
Dari semua temuan, satu hal menjadi jelas: kepemimpinan adalah kunci. Pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan, etika yang kuat, dan kemampuan adaptasi akan memastikan transformasi digital berjalan adil dan inklusif. Mereka bisa mendorong pelatihan guru, memperluas akses teknologi, dan membangun sinergi antara pemerintah, swasta, serta masyarakat.
Seperti yang pernah ditegaskan Bung Hatta: “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.” Ungkapan ini relevan dengan digitalisasi hari ini. Transformasi digital hanya akan berhasil jika dirasakan manfaatnya hingga ke pelosok negeri.
Transformasi digital bukan semata urusan teknologi, melainkan tentang manusia di dalamnya: guru, siswa, orang tua, hingga masyarakat luas. Investasi dalam kepemimpinan digital, literasi teknologi, dan kolaborasi lintas sektor akan menciptakan generasi yang tidak hanya cakap digital, tetapi juga berkarakter.
Jika hal ini tercapai, bukan tidak mungkin Indonesia mempercepat langkah menuju Indonesia Emas 2045—sebuah bangsa yang maju, mandiri, dan berkeadilan, dengan teknologi sebagai alat, bukan tujuan.(*)
0 Comments