Firdaus
Akademisi Universitas M.H. Thamrin
Mungkin bagi sebagian generasi Z, frasa Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo terdengar asing. Padahal, kalimat sakral ini pernah menjadi identitas Nusantara—sebuah negeri yang tertib, tenteram, makmur, dan subur, dengan hasil bumi yang melimpah ruah.
Dalam makna klasiknya, “Gemah Ripah Loh Jinawi” melukiskan negeri dengan kemakmuran yang bertumpu pada hasil alam, baik dari laut, pertanian, maupun perdagangan. Inilah gambaran Nusantara sebagai pusat ekonomi yang kuat dan mandiri. Sementara itu, frasa lanjutannya “Toto Tentrem Kerto Raharjo” menekankan harmoni sosial: tata krama, etika, hukum yang adil, serta masyarakat yang hidup selaras dengan alam.
Bila kedua frasa itu digabungkan, lahirlah gambaran ideal tentang sebuah negeri yang kaya, sejahtera, aman, dan penuh keselarasan. Namun, apakah Indonesia hari ini masih berada di jalur itu?
Pergeseran Orientasi Pasca Reformasi
Seiring bergulirnya reformasi, arah pembangunan bangsa mengalami pergeseran. Fokus pemerintah tak lagi menempatkan kekayaan alam sebagai pilar utama kemakmuran, melainkan beralih ke industrialisasi, modernisasi, dan pertambangan.
Standar kesuksesan pun berubah. Kita lebih sering mengukur pencapaian dari jumlah harta, gaya hidup modern, atau produk impor yang melekat, ketimbang dari seberapa jauh hasil bumi menyejahterakan rakyat.
Ketidakmerataan pembangunan mendorong arus urbanisasi besar-besaran. Pemuda desa meninggalkan sawah dan ladang, memilih bekerja di pabrik atau perkantoran di kota. Hubungan mereka dengan alam perlahan terputus, hingga orientasi agraris memudar. Di titik inilah, kesadaran terhadap makna “gemah ripah” kian terkikis.
Invasi Budaya dan Hilangnya Apresiasi Lokal
Selain pergeseran orientasi, derasnya arus informasi global ikut memengaruhi cara pandang masyarakat. Budaya asing dengan mudah memikat hati, sementara kekayaan lokal dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Lebih jauh, stigma sosial juga terbentuk. Jurusan kuliah atau bidang keilmuan yang dianggap “bergengsi” adalah yang menjanjikan gaji tinggi. Sementara bidang pertanian, kelautan, dan kearifan lokal sering dipandang sebelah mata. Akibatnya, generasi muda enggan menekuni potensi besar Nusantara yang justru menjadi kekuatan utama bangsa.
Ironi semakin nyata ketika kekayaan alam Nusantara hanya dinikmati segelintir orang. Mayoritas masyarakat masih terjebak dalam kemiskinan, ketidakstabilan harga, hingga kelangkaan bahan pokok. Alih-alih menjadi sumber kemakmuran bersama, hasil bumi sering kali hanya mempertebal dompet kelompok tertentu. Kondisi ini menciptakan jurang sosial yang makin lebar. Kekayaan melimpah, tetapi rasa sejahtera justru kian langka.
Merenungi Kembali Jati Diri Nusantara
Semua faktor di atas—pergeseran orientasi, derasnya pengaruh budaya asing, stigma sosial, dan ketimpangan distribusi—membuat bangsa ini seakan kehilangan jati diri. Kita lupa bahwa para leluhur dan pejuang telah menegaskan pentingnya menghargai bumi yang memberi kehidupan.
Kini saatnya kembali merenungkan makna Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo. Nusantara harus bangkit dengan mengedepankan keseimbangan antara kekayaan alam dan kesejahteraan manusia, antara pembangunan modern dan kearifan lokal.
Kita tidak kekurangan sumber daya, tetapi mungkin kekurangan kesadaran untuk mengelolanya dengan bijak. Hanya dengan itu, Indonesia bisa kembali berjaya sebagai negeri yang subur makmur, adil, tenteram, dan sejahtera.(*)
0 Comments