Oleh: SANTHI PERTIWI, S.Ip,. M.Pd

Pendidikan Berbasis Alam
Indonesia adalah negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang luar biasa. Rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, cengkeh, dan pala, adalah salah satu warisan alam dan sejarah yang melekat kuat dalam identitas bangsa. Mereka adalah komponen penting dari pengobatan tradisional, makanan, dan ritual budaya Nusantara, selain merupakan barang dagangan.
Ironisnya, kekayaan lokal seperti rempah-rempah jarang digunakan sebagai sumber pembelajaran dalam sistem pendidikan nasional yang berkembang saat ini. Pendekatan pendidikan berbasis alam dapat membantu peserta didik memahami ilmu pengetahuan secara lebih praktis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Namun, kurikulum masih cenderung bersifat abstrak dan tidak tergantung pada lingkungan hidup peserta didik.
Peluang besar terbuka untuk memasukkan pengetahuan lokal, termasuk rempah-rempah, ke dalam pendidikan di tengah upaya pemerintah untuk menerapkan Kurikulum Merdeka dan memperkuat Profil Pelajar Pancasila. Dalam artikel ini, kami menyelidiki literatur dan berbagai pendekatan pendidikan kontekstual yang menunjukkan bahwa rempah-rempah dapat menjadi media pembelajaran yang kaya makna dalam bidang sains, bahasa, dan budaya.
Diharapkan melalui telaah ini akan muncul kesadaran baru tentang pentingnya pendidikan yang berkualitas tinggi untuk memperkuat identitas lokal. Pendidikan yang berkualitas tinggi juga membantu generasi muda memahami hubungan antara manusia, ilmu pengetahuan, dan alam sekitar secara keseluruhan.
Pembahasan
Pendidikan berbasis alam seringkali terlupakan atau dianggap sekadar pelengkap dalam modernisasi pendidikan dan banyaknya digitalisasi pembelajaran. Meskipun demikian, kekayaan alam Indonesia merupakan sumber daya budaya, pengetahuan, dan aset ekonomi yang luar biasa. Rempah-rempah, tanaman lokal, yang selama berabad-abad membantu kehidupan, pengobatan, dan bahkan sejarah dunia Nusantara, adalah salah satu contoh konkret yang jarang dibahas dalam kurikulum sekolah. Menurut UNESCO (2020), pendidikan saat ini harus meninjau kembali potensi rempah sebagai jembatan antara budaya dan sains serta pengetahuan lokal dan global.
Pengetahuan tradisional yang diwariskan secara lisan, termasuk ilmu pengobatan berbasis tanaman obat, memainkan peran penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Rempah-rempah telah menjadi bagian dari praktik kesehatan dan pendidikan informal sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga era Islam dan kolonialisme. Ini terutama terjadi di keluarga, pesantren, dan komunitas adat (Ananta, 2021). Sayangnya, sistem pendidikan formal, yang berasal dari tradisi kolonial, lebih mengutamakan rasionalisme Barat daripada mempertimbangkan kearifan lokal sebagai sumber pengetahuan.
Namun, secara ilmiah, telah ditunjukkan bahwa rempah-rempah mengandung banyak fitokimia, seperti eugenol dalam cengkeh, gingerol dalam jahe, dan kurkumin dalam kunyit. Sifat antioksidan, antiradang, dan antimikroba yang ditunjukkan oleh senyawa-senyawa ini dapat digunakan sebagai pelajaran dalam bidang sains, terutama biologi dan kimia (BRIN, 2022). Misalnya, Anda dapat menggunakan praktik laboratorium yang membumi untuk melakukan tes sederhana seperti menguji sifat antioksidan larutan kunyit atau melihat bagaimana efek cengkeh pada pengawetan makanan.
Rempah-rempah memiliki nilai sejarah. Sejarah Indonesia berubah karena kedatangan orang Eropa ke Nusantara melalui jalur perdagangan rempah. Kisah jalur rempah, juga dikenal sebagai “jalur rempah”, dapat digunakan sebagai bahan untuk diskusi tentang kolonialisme, perdagangan maritim, dan identitas bangsa dalam pelajaran sejarah atau IPS (Suryawan, 2019). Oleh karena itu, rempah-rempah bukan hanya komoditas ekonomi tetapi juga representasi dari perubahan yang terjadi di politik dan budaya Indonesia.
Bahasa dan budaya juga dipengaruhi oleh rempah-rempah. Tanaman digunakan sebagai simbol dalam komunikasi sosial, seperti yang ditunjukkan oleh peribahasa seperti “seperti kunyit dengan kapur” atau “seperti lada dan garam.” Menurut Rohmah (2020), pelajaran bahasa Indonesia dapat mempelajari makna simbolik ini sebagai bagian dari pembelajaran sastra dan nilai-nilai lokal. Selain itu, banyak masyarakat adat menggunakan rempah dalam upacara penyembuhan dan pemurnian, yang menanamkan gagasan tentang keseimbangan spiritualitas dan alam.
Pendidikan di Indonesia memperkenalkan pendekatan kontekstual dan lintas disiplin ketika Kurikulum Merdeka muncul. Sekolah dapat mengangkat tema seperti “Gaya Hidup Berkelanjutan” atau “Kearifan Lokal” sebagai bagian dari pendekatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Mengeksplorasi rempah-rempah adalah topik yang sangat relevan untuk proyek penelitian. Ini dapat dilakukan dengan menanam tanaman rempah di kebun sekolah, membuat produk jamu sederhana, atau menyelidiki nilai ekonomi rempah-rempah lokal (Kemendikbudristek, 2021).
Namun, memasukkan rempah ke dalam pembelajaran masih sulit. Menurut Widodo dan Yuliana (2022), tidak ada modul ajar yang mendukung pembelajaran kontekstual berbasis lokal. Banyak guru juga belum menerima pelatihan untuk menerapkannya. Selain itu, dokumentasi pengetahuan tradisional masih sangat terbatas dan tersebar secara lisan. Akibatnya, sekolah, komunitas lokal, dan lembaga riset harus bekerja sama untuk membantu satu sama lain.
Namun, peluang masih ada. Dimungkinkan untuk menggunakan digitalisasi untuk mencatat bagaimana masyarakat menggunakan rempah-rempah. Di sisi lain, bekerja sama dengan tokoh adat, petani herbal, dan praktisi jamu dapat memberikan pembelajaran yang nyata dan relevan bagi siswa. Pendidikan membutuhkan pemahaman kritis melalui kehidupan nyata daripada hanya menghafal informasi.
Rempah-rempah bukan hanya bahan dapur atau obat tradisional; itu adalah pengetahuan hidup yang menggabungkan sejarah, budaya, dan sains. Pendidikan berbasis alam yang menggunakan rempah-rempah sebagai konteks tidak hanya memperkaya materi ajar tetapi juga membangun identitas dan kebanggaan terhadap warisan Nusantara. Sudah waktunya ruang kelas belajar lebih banyak tentang apa yang tumbuh di halaman sekolah, seperti jahe yang ditanam siswa, kunyit yang diracik nenek, dan cengkeh yang dulunya datang ke Indonesia dari seluruh dunia.
Kesimpulan
Pendidikan berbasis alam adalah pendekatan kontekstual dan relevan untuk membangun hubungan antara siswa dan lingkungan sekitarnya. Sebagai bagian dari kekayaan hayati dan budaya Indonesia, rempah-rempah memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai konteks pembelajaran yang mencakup berbagai bidang, termasuk seni, budaya, bahasa, dan ilmu sains. Dengan metode ini, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan teoretis tetapi juga mengalami dan memahami ilmu secara nyata, lokal, dan signifikan.
Kurikulum Merdeka memberi Anda kesempatan untuk menggunakan kearifan lokal dalam pembelajaran melalui proyek-proyek seperti Profil Pelajar Pancasila. Agar pendekatan ini dapat diterapkan secara sistematis, pelatihan guru dan modul ajar kontekstual diperlukan. Selain itu, kolaborasi lintas pihak—antara sekolah, komunitas lokal, dan lembaga riset—juga diperlukan.
Menghidupkan kembali identitas dan jati diri bangsa dalam dunia pendidikan berarti mewujudkan pendidikan yang membumi melalui rempah-rempah. Oleh karena itu, sekolah bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga tempat untuk mempertahankan tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang telah terbukti relevan untuk masa depan.(*)
0 Comments