Irma Syuryani Harahap
Kontributor BANREHI
Hujan rintik-rintik sore ini seolah mengetuk batin. Ada ganjalan yang tak bisa diabaikan. Aku berdialog dengan diri sendiri, bertanya kenapa hati ini resah. Rupanya karena sudah terlalu lama hanya membaca tulisan-tulisan tentang Ekonomi Pancasila, sementara jemari mungil ini begitu ingin menulis.
Kebetulan, sebuah anugerah datang. Prof. Yudhie Haryono tampil memberikan Keynote Speech dalam forum IKA UNPAD 2025, disiarkan Metro TV dan Unpad TV. Saat video itu kubuka, tubuhku merinding. Kata-katanya mengingatkan bahwa kita semua harus peduli, terus bergerak, dan membumikan Pancasila dalam bingkai kenegaraan. Bukan sekadar wacana, melainkan diwujudkan dalam bentuk RUU Ekonomi Pancasila.
Malam itu, ditemani seduhan herbal cengkeh, serai, dan jahe, aku mulai mengetik.

Irma Syuryani Harahap – penulis.
Ekonomi: Lebih dari Sekadar Angka
Dalam kehidupan berbangsa, ekonomi tidak hanya soal angka dan pasar. Ia adalah cermin nilai yang hidup dalam masyarakat. Ekonomi Pancasila menawarkan jalan: adil, gotong royong, dan berlandaskan kemanusiaan.
Namun, bagaimana jika kita melihatnya dari kacamata perempuan? Perspektif ini menyingkap bahwa ekonomi Pancasila bukan hanya teori negara, tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari—dijalankan dengan ketekunan, empati, dan keberanian.
Sejak masa pra-kemerdekaan, perempuan Indonesia adalah aktor ekonomi penting. Mereka mengelola rumah tangga, menghidupi usaha kecil, hingga menjaga tradisi produksi seperti rempah dan herbal. Bagi mereka, ekonomi bukan sekadar mencari keuntungan, tetapi menjaga keseimbangan antara materi dan keberlanjutan sosial.
Ini sejalan dengan sila kedua dan kelima Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ekonomi Pancasila: Warisan dan Kehidupan Nyata
Ekonomi Pancasila bukanlah ide baru. Ia adalah warisan para pendiri bangsa—Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Cokroaminoto—yang kini diteruskan oleh generasi penerus seperti Prof. Yudhie Haryono.
Sistem ini menolak dominasi pasar bebas yang eksploitatif, mengusung ekonomi kerakyatan yang berkeadilan. Dalam praktiknya, perempuan sering menjadi ujung tombak: mengelola koperasi, pasar tradisional, hingga usaha mikro. Ketika mereka berdaya, bukan hanya keluarga yang sejahtera, tetapi juga fondasi ekonomi bangsa yang kokoh.
Lebih dari sekadar pelaku ekonomi, perempuan adalah penjaga nilai kebangsaan. Mereka menanamkan persatuan dalam keluarga, mendorong toleransi di masyarakat, dan berpartisipasi dalam musyawarah. Peran ini mencerminkan sila keempat Pancasila: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Dengan begitu, perempuan tidak hanya memaknai ekonomi Pancasila, tetapi juga menghidupkannya dalam ruang nyata kehidupan.
Penutup: Perempuan, Penjaga Negeri
Melalui kacamata perempuan, ekonomi Pancasila bukan sekadar sistem. Ia adalah etika hidup, cara merawat sesama, dan jalan menuju kesejahteraan yang berkeadilan.
Mengutip Cut Nyak Dien: “Saat terbaik untuk membuktikan bahwa kita adalah pemenang yaitu saat ketika kita tampak kalah.” Begitu pula perempuan yang berjuang dalam ekonomi kerakyatan: terbatas dalam sumber daya, tetapi kuat dalam semangat pantang menyerah.
Seperti kata hikmah lama: “Kewajiban berusaha adalah milik kita, hasil adalah milik Tuhan.” Inilah etika kerja dalam ekonomi Pancasila—usaha dengan niat baik dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar mengejar keuntungan pribadi.
Dan akhirnya, biarlah syair ini menutup renungan kita:
Di ladang sunyi ia menanam harapan,
Rempah dan doa tumbuh bersamaan.
Tangan lembutnya bukan hanya merawat,
Tapi membangun bangsa dengan semangat yang kuat.
Ia bukan bayang di balik sejarah,
Melainkan cahaya yang menuntun arah.
Dalam dapur, pasar, dan ruang musyawarah,
Ia menghidupi sila dengan langkah yang ramah.
Ekonomi bukan sekadar angka dan laba,
Tapi tentang adil, gotong royong, dan cinta.
Perempuan memaknai Pancasila dengan jiwa,
Menjadi penjaga nilai dalam setiap asa.
Tak perlu panggung untuk bersinar terang,
Ia adalah akar yang membuat bangsa menang.
Dengan hikmat, sabar, dan keberanian tenang,
Perempuan Indonesia, penjaga negeri sepanjang zaman.(*)
0 Comments