PEREMPUAN DAN REMPAH

by | Sep 7, 2025 | Artikel | 0 comments

Irma Syuryani Harahap
Kontributor

Sebelum jari-jemari ini mengetik sebuah azimat berduri, kuseduh segelas kopi Indonesiano panas di sampingku. Perlahan kuseruput, menemaniku dalam indahnya malam ini. Namun tanpamu di sisi, rasanya dunia ini belum lengkap. Cepatlah malam, agar siangku segera berlalu.

Hendak kutulis mengenai rempah dan herbal yang sejak dahulu disajikan oleh tangan-tangan perempuan—dari masa lampau hingga perempuan modern saat ini. Adakah jemari mereka yang membuat dunia ini semakin bergejolak, ataukah justru dari lirikan mata perempuan lahir kedamaian dan kebahagiaan, sebagaimana perempuan dulu yang hidup sederhana di gubuk kecil, ditemani pepohonan yang bermanfaat bagi suami, alam, hutan, bahkan bagi jiwa-jiwa yang bersemayam di dalamnya?

Bagaimana metode meracik kopi yang dulu ditunggu para suami maupun para sultan? Aku ingin mengetik ulang azimat berduri ini agar menjadi tancapan pisau yang tajam, yang mampu mengupas rempah dan herbal hingga ke akarnya. Warisan peradaban manusia yang tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Dari dapur sederhana hingga gelanggang perdagangan internasional, dari kebiasaan meracik jamu hingga riset farmasi modern.

Tangan-tangan perempuan selalu hadir menjaga, melestarikan, sekaligus mengembangkan khazanah rempah dan herbal Nusantara, penjaga utama pengetahuan tradisional. Di banyak rumah tangga, ibu dan nenek menjadi “arsip hidup” yang menyimpan racikan jamu seperti kunyit asam, beras kencur, atau rebusan sirih. Pengetahuan itu tidak tersimpan dalam buku tebal, melainkan diwariskan dari generasi ke generasi lewat praktik langsung. Di situlah perempuan menjadi benteng pelestarian budaya sekaligus penjamin keberlanjutan tradisi herbal Indonesia.

Perempuan dan rempah

Dari Dapur ke Pasar

Jika dapur menjadi ruang privat tempat pengetahuan diracik, maka pasar adalah panggung publik tempat perempuan memperluas pengaruhnya. Banyak perempuan sejak dahulu terlibat aktif sebagai pedagang rempah di pasar tradisional. Mereka bukan sekadar pelengkap roda ekonomi keluarga, tetapi justru penggerak utama. Dengan keterampilan bernegosiasi dan jejaring sosial yang kuat, perempuan berhasil menjadikan rempah sebagai penopang ekonomi rumah tangga sekaligus desa.

Contoh nyata adalah budidaya bunga telang dan tanaman herbal lain di berbagai desa. Aktivitas ini bukan hanya menghasilkan produk olahan seperti teh, minyak atsiri, atau sabun herbal, tetapi juga memperkuat kemandirian ekonomi perempuan desa. Dari situ lahirlah merek-merek lokal berbasis kearifan tradisi, yang perlahan menembus pasar nasional bahkan internasional.

 

Inovasi di Era Modern

Perjalanan rempah tidak berhenti di dapur dan pasar. Di era modern, perempuan juga menjadi inovator di bidang kesehatan dan kecantikan. Banyak produk farmasi maupun kosmetika yang berbasis rempah lahir dari tangan-tangan perempuan—mulai dari serum kunyit, masker jahe, hingga berbagai ramuan herbal yang diformulasikan dengan standar ilmiah.

Perempuan juga hadir dalam ranah akademik, aktif terlibat dalam penelitian manfaat rempah. Mereka menjembatani tradisi dengan sains modern, memastikan bahwa khasiat rempah yang diwariskan leluhur dapat dibuktikan secara ilmiah dan diterima lebih luas.

Penjaga Identitas dan Edukator Budaya

Kontribusi perempuan tidak hanya di bidang ekonomi dan inovasi, tetapi juga dalam menjaga identitas bangsa. Melalui komunitas, workshop, hingga media sosial, perempuan menjadi penggerak utama edukasi publik tentang sejarah, manfaat, dan pentingnya rempah dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa guru bahkan memasukkan pembelajaran tentang rempah ke dalam kurikulum lokal, menjadikannya bagian dari pendidikan berbasis budaya. Dengan begitu, generasi muda tidak hanya mengenal rempah sebagai bumbu dapur, tetapi juga memahami nilai sejarah, ekonomi, dan filosofinya.

Simbol Kehangatan dan Ketahanan

Dalam banyak narasi budaya, rempah sering diasosiasikan dengan kehangatan, penyembuhan, dan ketahanan. Nilai-nilai ini sejatinya juga melekat pada peran perempuan. Dari rumah tangga hingga ruang publik, perempuan menjadi metafora rempah itu sendiri: sederhana, namun esensial; lembut, namun mampu memberi kekuatan; tersembunyi, namun menentukan arah sejarah.

Perempuan bukanlah aktor pinggiran dalam sejarah rempah dan herbal Nusantara. Mereka adalah fondasi yang menopang perjalanan panjang peradaban, dari masa lalu hingga masa kini. Melihat kontribusi yang begitu kaya, sudah saatnya peran perempuan dalam dunia rempah dan herbal diakui bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai aktor utama dalam sejarah, ekonomi, dan budaya Nusantara.(*)

Related Posts

JAMU: DARI DAPUR NENEK KE INDUSTRI GLOBAL

Firdaus Kontributor/Akademisi Univ.M.H.Thamrin Jamu, warisan budaya Nusantara yang kaya, telah menempuh perjalanan panjang dari sekadar ramuan sederhana di dapur rumah hingga menjelma menjadi industri bernilai ekonomi tinggi. Dengan akar kuat dalam tradisi pengobatan...

read more

SAWO: BUAH MANIS YANG BERKHASIAT UNTUK TUBUH

Editor: Ryo Disastro Siapa yang tidak kenal sawo? Buah berkulit cokelat dengan daging lembut dan rasa manis ini ternyata bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga menyimpan segudang manfaat kesehatan. Di balik kesederhanaannya, sawo menyimpan kandungan zat gizi yang...

read more

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *