Judul Jurnal: Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia: Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia
Penulis: Ernie H. Purwaningsih
Penerbit: Departemen Farmasi FKUI
Volume: 1 & 2 | Jumlah Halaman: 89
ISBN: 978-623-10-4922-3
Resensor: Irma Syuryani Harahap
(Kontributor BANREHI)
Pengantar: Dari Warisan Budaya ke Tantangan Ilmiah
Jamu adalah bagian penting dari warisan budaya dan kekayaan alam Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, lebih dari 50% masyarakat Indonesia menggunakan jamu. Namun, penerimaan jamu di kalangan tenaga medis—khususnya dokter spesialis—masih rendah. Penyebab utama adalah kurangnya bukti ilmiah yang mendukung, atau yang dikenal dengan istilah evidence-based medicine (EBM).
Jurnal ini membuka dengan menyoroti dinamika tersebut, termasuk fakta bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghapus bidang kajian pengobatan tradisional, alternatif, dan komplementer dalam struktur organisasinya pasca-Muktamar IDI di Makassar tahun 2012. Padahal, sebelumnya bidang ini dibentuk pada Muktamar IDI di Palembang tahun 2009 menyusul deklarasi “Jamu Brand Indonesia” oleh Presiden RI tahun 2008.
Saintifikasi Jamu: Upaya Menjembatani Tradisi dan Ilmu
Sebagai respons atas tantangan legitimasi ilmiah jamu, Kementerian Kesehatan menginisiasi program Saintifikasi Jamu (SJ) melalui Permenkes No. 003/PerMenKes/I/2010. Program ini bertujuan membuktikan khasiat jamu melalui penelitian berbasis pelayanan. Sayangnya, banyak dokter peserta SJ mengalami kendala administratif, seperti tidak diakuinya program ini oleh dinas kesehatan setempat.
Jurnal ini menunjukkan bahwa masalah jamu bukan semata soal kesehatan, tetapi lintas sektor—membutuhkan koordinasi antar kementerian seperti pertanian, kehutanan, riset, teknologi, pendidikan, perdagangan, hingga perindustrian. Sayangnya, belum ada sistem regulasi terpadu yang mendorong jamu sebagai program nasional yang kuat.
Kilasan Sejarah: Dari Mesolitikum hingga Masa Kolonial
Penggunaan tanaman obat di Indonesia tercatat sejak masa mesolitikum, ditandai oleh temuan fosil lumpang, alu, dan pipisan batu di tanah Jawa. Bukti tekstual tercatat dalam prasasti dan relief candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan. Naskah Usada Bali dari abad ke-10 hingga Serat Centhini dari abad ke-19 memperlihatkan betapa kaya pengetahuan herbal lokal.
Pada abad ke-18 hingga awal abad ke-20, para dokter kolonial mulai menaruh minat pada jamu. Dr. Carl Waitz dalam bukunya (1829) menunjukkan bagaimana tanaman Indonesia bisa menggantikan obat Eropa. Bahkan, Willem G. Boorsma dari Kebun Raya Bogor berhasil mengisolasi bahan aktif seperti morfin dan kinin.
Periode Modern: Regulasi, Kebijakan, dan Roadmap Jamu
Pasca-kemerdekaan, semangat menghidupkan kembali jamu tetap hadir. Tahun 1966 diselenggarakan Konferensi Jamu II di Solo. Industri jamu berkembang pesat, mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menkes No. 246/MENKES/PER/V/1990 dan Keputusan Menkes No. 584/MENKES/SK/VI/1995 tentang pengawasan dan pengembangan pengobatan tradisional.
Sayangnya, perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HAKI) masih lemah. Banyak tanaman asli Indonesia dipatenkan di luar negeri, seperti xanthorrizol dari Curcuma xanthorrhiza, Pandanus conoideus (buah merah), dan Andrographis paniculata (sambiloto).
Abad ke-21: Antara Harapan dan Kenyataan
Pada 27 Mei 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Hari Kebangkitan Jamu Indonesia. Pemerintah kemudian menerbitkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengakui pelayanan kesehatan tradisional. Namun, kendala masih muncul, seperti hilangnya dukungan PB IDI terhadap Saintifikasi Jamu pasca-Muktamar IDI 2012.
Jurnal ini mencatat bahwa meskipun 200 dokter telah dilatih dalam program SJ, mereka sering kali tidak mendapatkan izin praktik karena ketiadaan pengakuan dari dinas kesehatan. Di sisi lain, meski riset jamu terus dilakukan di universitas, hasilnya tidak bisa dipasarkan karena BPOM hanya memberi izin kepada industri yang mengajukan registrasi formal—dengan uji klinik yang masih berorientasi pada standar obat konvensional.
Pendidikan Jamu di Ranah Akademik
Di bidang pendidikan, Program Magister Herbal Indonesia diluncurkan UI pada 2010, menghasilkan lulusan dari bidang medis, farmasi, hingga biologi. Program ini menjadi pionir dalam menjembatani jamu dengan pendidikan tinggi formal. Meski masih menjadi usulan, kurikulum tanaman obat kini mulai dibicarakan untuk masuk ke dalam standar kompetensi dokter Indonesia.
Namun, data evaluasi tesis magister biomedik FKUI 2001–2010 menunjukkan hanya 14,5% mahasiswa yang meneliti tanaman obat, dan hanya 27% di antaranya adalah dokter. Ini menunjukkan minat dan dukungan institusional masih sangat terbatas.
Penutup: Meneguhkan Jamu sebagai Pilar Kesehatan Bangsa
Jurnal ini menjadi bahan reflektif penting tentang bagaimana jamu mengalami pasang surut dalam sejarah kebijakan kesehatan Indonesia. Dari fase kolonial, masa kemerdekaan, hingga era modern, jamu terus berjuang untuk mendapat tempat yang layak dalam sistem kesehatan nasional.
Permasalahan jamu bukan hanya soal bukti ilmiah atau keamanan. Ia adalah refleksi dari ketidakseriusan sistem dalam mengelola kekayaan hayati bangsa sendiri. Resensi ini mengajak pembaca untuk kembali menyadari bahwa jamu bukan sekadar warisan budaya—melainkan strategi kedaulatan kesehatan yang harus diperjuangkan bersama, oleh akademisi, praktisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.(*)
0 Comments