REVIEW GADIS KRETEK: JEJAK PEREMPUAN DI BALIK ASAP

by | Sep 30, 2025 | Artikel | 0 comments

Irma Syuryani Harahap
Kontributor BANREHI

Gadis Kretek
Terbitan Pertama: 2012
Pengarang: Ratih Kumala
Genre: Fiksi sejarah, Roman sejarah
ISBN: ISBN 978-979-22-8141-5
Bahasa: Indonesia

Sore ini akhirnya aku meneguhkan tekad untuk menuntaskan bacaan “Gadis Kretek”. Buku yang kubeli langsung dari toko resmi Gramedia online—tentu bukan bajakan—akhirnya selesai kubaca di sela kesibukan yang tak berujung. Ada rasa lega, sekaligus refleksi panjang tentang cinta, sejarah, dan peran perempuan di balik sebatang kretek.

Membaca buku ini, aku seperti dibawa masuk ke bungkusan besar industri miliaran rupiah, tapi juga ke dalam ruang-ruang kecil penuh aroma cengkeh dan tembakau yang lahir dari tangan perempuan.

Cover buku “Gadis Kretek” dalam 2 versi.

Kretek: Dari Obat Asma Menjadi Identitas Nasional

Sejarah kretek berawal sederhana. Di awal abad ke-20, seorang warga Kudus bernama Haji Djamhari yang menderita asma mencoba mencampurkan tembakau dengan cengkeh. Saat dibakar, asapnya membuatnya lebih lega bernapas. Suara “kretek-kretek” dari cengkeh yang terbakar itu kemudian memberi nama pada rokok khas Indonesia: kretek.

Awalnya bukan gaya hidup, melainkan ramuan rakyat untuk kesehatan. Cengkeh yang antiseptik berpadu dengan tembakau sebagai penghantar aroma. Dari sana, kretek menyebar dari mulut ke mulut, menjadi bagian pengobatan tradisional, lalu perlahan bertransformasi menjadi industri besar.

Perempuan dan Ramuan Kehidupan

Yang jarang disorot adalah tangan perempuan di balik kretek. Dari dapur-dapur rumah hingga pabrik di Kudus dan Temanggung, merekalah peracik, pelinting, sekaligus penjaga kualitas.

– Perempuan pelinting menghasilkan ribuan batang per hari dengan presisi luar biasa.
– Banyak dari mereka yang menjadi pemilik usaha kecil, merintis merek kretek lokal.
– Perempuan juga memahami dengan detail karakter tembakau dan cengkeh, menjaga harmoni rasa yang menjadi ciri khas setiap merek.

Dalam industri yang kerap dianggap maskulin, peran perempuan sering terhapus dari narasi sejarah. Padahal, tanpa mereka, kretek tak akan punya aroma dan jiwa.

Dari Buku ke Layar: Gadis Kretek

Popularitas Gadis Kretek kian meluas ketika diadaptasi menjadi serial Netflix pada November 2023. Disutradarai Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, serial ini menghadirkan cerita cinta dan sejarah dengan sinematografi yang puitis.

Dian Sastrowardoyo sebagai Dasiyah—atau Jeng Yah—mewakili wajah perempuan yang bukan sekadar kekasih tokoh laki-laki, tapi inovator kretek yang visioner. Ia meracik cita rasa baru, melawan dominasi laki-laki dalam industri. Peran ini terasa nyata, karena sesungguhnya banyak perempuan di dunia kretek yang memang demikian: pembaru, meski jarang disebut dalam buku sejarah.

Lagu tema Kala Sang Surya Tenggelam yang dibawakan Nadin Amizah menambah nuansa melankolis, membuat pengalaman menonton sekaligus membaca jadi lebih berkesan.

Kretek, Ekonomi, dan Refleksi Budaya

Kretek bukan sekadar rokok. Ia adalah:

– Simbol perlawanan terhadap dominasi rokok putih Barat.
– Ekonomi rakyat yang menyerap jutaan tenaga kerja, mayoritas perempuan.
– Identitas budaya yang tumbuh dari tanah dan rempah Nusantara.

Namun, modernisasi dan regulasi sering menggerus jejak perempuan. Saat industri beralih ke mesin, banyak pelinting kehilangan pekerjaan. Saat narasi ekonomi hanya bicara angka, cerita tentang tangan perempuan yang melinting kretek dengan cinta perlahan hilang.

Refleksi Pribadi: Asap Cinta yang Membara

Menyelesaikan Gadis Kretek membuatku sadar: kisah cinta, sejarah ekonomi, dan peran perempuan bisa bersatu dalam satu narasi yang membekas. Di balik kepulan asap, ada pelajaran tentang keberanian, kreativitas, dan identitas bangsa.

Gadis Kretek bukan hanya tentang rokok, tapi tentang bagaimana sebuah produk lokal bisa menjadi simbol nasional. Dan lebih dari itu, tentang bagaimana perempuan selalu punya ruang dalam sejarah—meski sering disamarkan.

Seperti Dasiyah dalam cerita, perempuan di balik kretek adalah api yang menjaga aroma bangsa. Mereka bukan sekadar “tangan belakang”, melainkan jiwa yang membuat Indonesia punya identitas berbeda di mata dunia.(*)

Related Posts

KALA PALA MENGGUNCANG DUNIA

Irma Syuryani Harahap Kontributor Di kala cuaca dingin menyelimuti dari sore hingga malam, tanpa sengaja aku meracik minuman herbal. Di meja dapur ada sebutir nanas yang sejak siang hanya kuangguri. Tiba-tiba saja, muncul ide sederhana: mengubahnya menjadi ramuan...

read more

PANCASILA DAN JALAN TENGAH EKONOMI KITA

Oleh: Irma Syuryani Harahap Editor: Ryo Disastro Biasanya secangkir cokelat panas mampu mengusir sunyi di malam hari. Namun kali ini, kesunyian seolah kian tebal. Rindu yang jauh di belahan Eropa membuatku teringat pada harapan: membangun bahtera rumah tangga dengan...

read more

ANTOLOGI PANTUN BANREHI

Ngopi pagi di warung sederhana, Roti goreng jadi temannya. Hanya satu jalan untuk bangsa, Kembali tegak: Ekonomi Pancasila. Ngopi pagi di warung desa, aroma rempah harum ke mana-mana. Tim Banrehi satukan asa, bawa Pancasila jaga ekonomi bangsa. Kalau ke kramat jati,...

read more

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *