Oleh : Yaya Sunaryo
Praktisi Pendidikan
Kontributor BANREHI

Ilustrasi tanaman obat keluarga di rumah
Indonesia dikenal luas sebagai negara agraris dengan kekayaan alam melimpah. Iklim tropis dan tanah yang subur menjadikan negeri ini tempat tumbuh ideal bagi berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan, sandang, maupun tanaman yang memiliki nilai ekonomis dan kesehatan. Keanekaragaman hayati Indonesia menempatkannya sebagai salah satu negara dengan biodiversitas tertinggi di dunia, terutama dalam hal tumbuhan dan rempah-rempah.
Tanaman tidak hanya berguna sebagai sumber makanan atau bahan bangunan, tetapi juga memiliki manfaat penting sebagai penghias ruang, pelindung lingkungan, serta yang paling bernilai: sebagai obat. Lebih dari seribu spesies tumbuhan di Indonesia telah diketahui memiliki potensi sebagai tanaman obat. Sebagian besar tanaman ini digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional yang disebut dengan istilah Tanaman Obat Keluarga (TOGA).
TOGA adalah tanaman yang dibudidayakan di pekarangan rumah atau tumbuh secara liar di sekitar lingkungan, yang secara turun-temurun dipercaya memiliki khasiat dalam menyembuhkan berbagai penyakit. Contoh tanaman yang umum digunakan antara lain jahe, kunyit, temulawak, lengkuas, sambiloto, dan kumis kucing. Tidak sedikit dari tanaman ini yang telah diuji secara ilmiah dan terbukti memiliki kandungan aktif yang bersifat farmakologis.
Berbeda dengan obat-obatan kimia modern, tanaman obat tradisional umumnya dikenal lebih aman dan minim efek samping, terutama bila digunakan sesuai dengan jenis, dosis, dan cara penggunaan yang tepat. Namun, pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan tanaman ini masih terbatas. Kurangnya informasi, literasi, dan edukasi tentang bagian tanaman mana yang bisa digunakan sebagai obat (daun, akar, batang, kulit, hingga seluruh tanaman), membuat potensi tanaman obat ini belum dimaksimalkan.
Padahal, penggunaan tanaman sebagai bahan penyembuhan alami merupakan praktik yang telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak masa lampau. Dalam praktik pengobatan tradisional, tanaman-tanaman tersebut direbus, ditumbuk, atau dikonsumsi langsung sebagai ramuan herbal. Meskipun zaman telah berubah, kebiasaan ini tetap relevan dan bahkan semakin penting di tengah tren kembali ke gaya hidup alami dan sehat.
Menurut Ary Prihardhyanto Keim, pakar etnobiologi yang diwawancarai oleh Mongabay Indonesia, warisan pengetahuan herbal di Indonesia telah ada sejak ribuan tahun lalu. Nenek moyang bangsa ini bukan hanya menemukan manfaat dari tanaman obat, tetapi juga rempah-rempah seperti cengkih, kayu manis, kemiri, gambir, kapur barus, kemenyan, dan pala. Rempah-rempah ini tidak hanya bernilai dalam dunia kesehatan, tetapi juga menjadi komoditas strategis yang mengubah jalannya sejarah (Mongabay.co.id).
Penemuan dan pemanfaatan rempah ini menjadi penggerak utama aktivitas perdagangan lintas benua yang dilakukan oleh leluhur bangsa Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Kedatuan Medang adalah entitas politik awal di Nusantara yang menjadikan rempah sebagai komoditas dagang unggulan hingga ke wilayah Filipina. Tradisi ini diteruskan dan dikembangkan secara signifikan oleh Kedatuan Sriwijaya, yang terkenal sebagai poros maritim dunia pada abad ke-7 hingga ke-13.
Sriwijaya melakukan perdagangan rempah hingga ke India, Tiongkok, bahkan ke Romawi dan Yunani. Salah satu bukti kuatnya adalah Prasasti Ligor di Thailand Selatan, yang menjadi saksi peran penting kawasan itu sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Ary menyebut Sriwijaya sebagai “kedatuan kapitalisme Nusantara pertama” karena kemampuannya mengelola komoditas rempah dalam skema perdagangan internasional.
Kejayaan perdagangan rempah berlanjut di masa Kedatuan Majapahit, yang memperluas jaringan dagangnya hingga ke wilayah Australia dan menjalin kontak diplomatik dengan Kekaisaran Bizantium. Dalam pandangan Ary, Majapahit adalah kedatuan kapitalisme terbesar Nusantara. Namun, setelah era Majapahit, kontrol atas perdagangan rempah diambil alih oleh para pedagang Arab, sebelum akhirnya jatuh ke tangan kolonial Belanda yang berhasil membangun jalur perdagangan maritim global.
Melihat kembali perjalanan sejarah ini, kita dapat memahami bahwa penguasaan terhadap sumber daya tanaman, khususnya tanaman obat dan rempah, merupakan salah satu pilar kejayaan Nusantara di masa lalu. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemanfaatan tanaman lokal, termasuk TOGA, bukan hanya menyangkut kesehatan keluarga, tetapi juga menyangkut identitas, kemandirian, dan keberlanjutan budaya bangsa.
Saat ini, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, tren kembali ke pengobatan tradisional semakin meningkat. Budidaya TOGA di pekarangan rumah, misalnya, tidak hanya menjawab kebutuhan pengobatan yang murah dan alami, tetapi juga memberikan kontribusi ekologis dan ekonomi keluarga. Budidaya tanaman herbal dapat menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhan obat sehari-hari, terutama di tengah tantangan akses dan mahalnya obat kimia modern.
Untuk mendukung upaya ini, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, lembaga kesehatan, dan masyarakat sipil. Literasi tanaman obat harus terus ditingkatkan melalui pendidikan formal dan informal. Selain itu, riset-riset ilmiah tentang efektivitas tanaman herbal lokal juga harus terus dikembangkan agar dapat bersaing secara global dan diakui sebagai bagian dari sistem pengobatan yang valid dan terpercaya.
Sebagai negeri yang telah mewarisi kekayaan hayati dan pengetahuan tradisional yang luar biasa, Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi konsumen produk herbal dunia, melainkan menjadi pusat produksi dan inovasi tanaman obat keluarga. Dengan begitu, warisan hijau Nusantara tidak hanya hidup dalam catatan sejarah, tetapi juga hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia masa kini dan masa depan.(*)

Ilustrasi tanaman obat keluarga di rumah
0 Comments