MENGANGKAT MARTABAT HERBAL NUSANTARA KE ETALASE DUNIA

by | Jun 3, 2025 | Artikel | 0 comments

Oleh Dr.Agus Rizal
Dosen Universitas MH Thamrin

Herbal dan rempah-rempah bukan sekadar hasil bumi yang tumbuh subur di tanah Indonesia. Ia adalah warisan budaya, simbol kearifan lokal, dan jejak pengetahuan nenek moyang yang telah terbukti menjaga kesehatan masyarakat selama ratusan bahkan ribuan tahun. Di tengah tren global yang semakin menekankan pentingnya gaya hidup sehat dan kembali ke alam (back to nature), produk herbal dan rempah Indonesia justru menjadi primadona pasar internasional.

Sayangnya, di balik peluang besar itu, Indonesia justru masih berperan sebagai pemain pinggiran dalam rantai pasok global. Negara ini lebih sering tampil sebagai penyedia bahan mentah ketimbang sebagai pelaku utama industri herbal. Padahal, negeri ini secara alamiah adalah surga tanaman obat dan rempah dunia.

“Indonesia adalah surga herbal, tapi kita masih menjualnya mentah ke luar negeri. Nilai tambah justru dinikmati negara lain.”

Pernyataan ini bukan sekadar kritik, tapi panggilan untuk sadar. Kita telah terlalu lama menjual kekayaan tanpa menguasai prosesnya. Dalam sudut pandang ekonomi kedaulatan, ini adalah ironi. Bagaimana mungkin bangsa yang kaya akan biodiversitas justru tak memiliki kedaulatan penuh atas sumber dayanya sendiri?

Ekonomi Kedaulatan dan Dilema Rempah Mentah

Dalam paradigma ekonomi kedaulatan, bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang mengendalikan sumber daya strategisnya: dari produksi, pengolahan, hingga distribusi. Negara seharusnya hadir bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi pelindung dan pengarah kebijakan, memastikan bahwa keuntungan terbesar dari kekayaan alam dikelola dan dinikmati oleh rakyatnya sendiri.

Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sepanjang tahun 2023, Indonesia mengekspor sekitar 157 ribu ton rempah dengan nilai USD 613 juta. Meski dari sisi volume meningkat, nilai ekspor justru turun sebesar 4,16% dibandingkan tahun sebelumnya (data Kementerian Perdagangan, dikutip dari Setneg.go.id).

Negara-negara tujuan ekspor utama adalah Tiongkok, India, Bangladesh, dan Amerika Serikat. Tiongkok menjadi pasar terbesar, dengan lebih dari 48 ribu ton tanaman obat dan rempah masuk dari Indonesia pada tahun 2024 (BPS melalui GoodStats.id). Namun sebagian besar ekspor itu dalam bentuk mentah—tanpa proses pengolahan, tanpa sertifikasi internasional, dan tanpa identitas Indonesia yang melekat.

Herbal Nusantara menuju etalase dunia

Hilirisasi: Dari Ladang ke Laboratorium

Dalam konteks ini, hilirisasi bukan lagi sekadar wacana politik atau jargon ekonomi. Ia adalah jalan nyata menuju kedaulatan. Pemerintah menargetkan ekspor rempah dan bumbu nasional mencapai USD 2 miliar atau sekitar Rp30 triliun pada 2024 melalui strategi hilirisasi (Kemenperin, dikutip dari Bisnis.com).

Namun target itu tidak akan tercapai hanya dengan niat. Dibutuhkan transformasi struktural: membangun pabrik pengolahan di dekat sentra produksi; memberikan akses pembiayaan dan pendampingan kepada UMKM; memperkuat koperasi petani; mendorong riset dan inovasi produk berbasis bahan lokal; serta memfasilitasi sertifikasi dan branding internasional produk herbal Indonesia.

“Bangsa yang besar bukan hanya menanam dan menjual, tetapi juga mengolah dan menguasai.”

Sebuah suplemen berbahan dasar temulawak yang diekspor dalam bentuk ekstrak memiliki nilai jual berkali-kali lipat dibandingkan umbi temulawak mentah. Inilah esensi nilai tambah. Bukan sekadar soal angka ekspor, tetapi nilai budaya, identitas bangsa, dan posisi tawar dalam pasar global.

Jamu, Kosmetik, dan Produk Herbal: Warisan yang Direbut Pasar Global

Indonesia memiliki banyak tanaman herbal yang telah digunakan secara turun-temurun dalam tradisi jamu, ritual adat, hingga pengobatan rumahan. Kunyit, jahe, temulawak, sambiloto, daun sirih, pegagan—semuanya memiliki khasiat medis yang kini justru banyak dipatenkan oleh perusahaan luar negeri.

Bahkan, banyak perusahaan kosmetik global kini mengusung label “natural” dan “herbal” dengan bahan dasar dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Produk seperti minyak atsiri, losion berbahan rempah, minuman kesehatan, dan kapsul suplemen tumbuh subur di pasar internasional—sementara Indonesia masih sibuk mengekspor daun kering dan umbi mentah.

Ketimpangan ini harus menjadi alarm bagi pengambil kebijakan. Indonesia tidak boleh puas hanya sebagai penghasil bahan baku. Kita harus menjadi pelaku utama dalam proses industri—baik dalam pengolahan, penelitian, hingga pemasaran produk herbal.

Kedaulatan Herbal: Menyatu dengan Kemandirian Bangsa

Menguasai industri herbal bukan semata soal bisnis, tetapi juga kedaulatan budaya dan pengetahuan. Pengetahuan tentang pengolahan jamu dan tanaman obat telah diwariskan dari generasi ke generasi. Namun sayangnya, warisan itu sering kali tidak dibukukan, tidak diuji secara ilmiah, dan tidak dilindungi hak ciptanya.

Di sisi lain, negara-negara maju menginvestasikan banyak dana untuk meneliti, memformulasikan, dan mendaftarkan hak paten dari bahan yang bahkan berasal dari negeri ini. Xanthorrizol dari Curcuma xanthorrhiza dan andrografolid dari sambiloto adalah contoh nyata bagaimana aset biologis lokal bisa “diambil alih” karena ketidaksiapan kita dalam hal regulasi dan perlindungan kekayaan intelektual.

Penutup: Dari Warisan Menjadi Kepemimpinan Global

Sudah saatnya Indonesia membalik narasi. Kita tidak bisa terus membiarkan herbal dan rempah sebagai kisah lama yang terus diromantisasi. Kita harus bergerak menjadikannya komoditas unggulan, dikembangkan dengan pendekatan saintifik, didukung oleh industri, dan dihargai oleh masyarakat.

Pembangunan sektor herbal dan rempah harus menjadi bagian dari visi besar bangsa—menyatukan kekayaan alam, ilmu pengetahuan, ekonomi kerakyatan, dan diplomasi budaya. Indonesia bisa dan sudah saatnya kita tidak hanya sebagai ladang bahan mentah dunia, tetapi menjadi pemain utama di panggung industri herbal global.(*)

Related Posts

RESENSI BUKU: TANAMAN REMPAH DAN FITOFARMAKA

Penulis: Rusdi Evizal Penerbit: Lembaga Penelitian Universitas Lampung Jumlah halaman: xiv + 198 halaman Ukuran: 15,7 x 24 cm ISBN: 978-979-8510-68-7 Resensor: Irma Syuryani H. (Kontributor BANREHI) Kebangkitan Rempah Pascapandemi: Momentum Sejarah dan Kesadaran...

read more

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *