MENYUSURI JEJAK JAMU GENDONG YANG HAMPIR HILANG

by | Dec 29, 2024 | Artikel | 0 comments

Yaya Sunaryo
Kontributor

Ilustrasi Penjual Jamu Gendong – Photo Credit: www.alisson.id

Di sudut pasar tradisional yang semakin tergeser modernitas, seorang perempuan paruh baya duduk dengan senyuman sabar. Bu Katmi, penjual jamu gendong, masih setia menawarkan ramuan herbalnya. Botol-botol kaca berisi cairan kuning, cokelat, dan hijau tergantung di pinggangnya. “Ayo, mbak, mas, jamu sehat!” serunya dengan nada riang yang mulai jarang terdengar di kota besar seperti ini.

Jamu, bagi banyak orang Indonesia, adalah lebih dari sekadar minuman. Ia adalah warisan budaya, hasil dari kekayaan rempah dan herbal Nusantara yang telah diwariskan turun-temurun. Rasa pahit kunyit asam, hangat jahe, dan kesegaran beras kencur bukan hanya sekadar cita rasa; mereka adalah simbol kesehatan alami yang terjangkau oleh masyarakat luas.

Namun, warisan ini semakin hari semakin memudar. Di tengah hiruk-pikuk kota besar, keberadaan jamu gendong mulai menjadi pemandangan langka. Bu Katmi menghela napas panjang saat mengenang masa-masa kejayaannya. “Dulu, tiap pagi saya bisa jual habis 50 botol. Sekarang, sehari laku 10 botol saja sudah alhamdulillah,” katanya.

Di daerah asalnya, Wonogiri, yang dulu menjadi salah satu pusat pengrajin jamu gendong, generasi penerus semakin sulit ditemukan. “Anak-anak muda sekarang lebih suka kerja di pabrik atau pergi ke kota besar. Mereka tidak mau susah-susah gendong botol jamu keliling kampung,” keluh Bu Katmi. Ia sadar, bukan hanya karena perubahan gaya hidup, tetapi juga karena hilangnya pembinaan yang dulu dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Ibu Mooryati Soedibyo, pendiri salah satu merek jamu ternama di Indonesia.

Bu Katmi mengingat betul bagaimana pada masa lalu, komunitas penjual jamu mendapat perhatian khusus. Ada pelatihan, dukungan, bahkan kampanye untuk mempromosikan manfaat jamu sebagai alternatif pengobatan alami. Namun, seiring waktu, perhatian tersebut meredup. Modernitas, dengan segala kemudahannya, datang seperti ombak besar yang melunturkan nilai-nilai tradisional.

Ia menceritakan pengalamannya dengan nada getir. “Sekarang orang-orang lebih percaya obat generik. Padahal, obat itu seringnya hanya meredakan gejala, tidak benar-benar menyembuhkan. Berbeda dengan jamu, yang membantu tubuh pulih secara alami,” ujarnya penuh keyakinan. Pandemi COVID-19, katanya, adalah momen pembuktian. Ketika dunia terhenti, banyak orang kembali ke akar tradisi, mencari ramuan herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Penjualan jamu sempat melonjak. Tapi, setelah itu? Semua kembali seperti semula, terlupakan lagi.

Bu Katmi berharap pemerintah lebih memperhatikan pelaku usaha jamu, baik yang modern maupun tradisional. “Kalau jamu hilang, kita kehilangan identitas bangsa. Apa kita mau jadi tamu di negeri sendiri, membeli produk herbal impor yang sebenarnya bisa kita buat sendiri?” tanyanya retoris.

Cerita Bu Katmi hanyalah salah satu dari ribuan kisah para penjaga tradisi yang mulai terpinggirkan. Di tengah serbuan teknologi dan gaya hidup serba cepat, warisan seperti jamu memerlukan lebih dari sekadar nostalgia. Ia membutuhkan keberanian untuk dilestarikan, inovasi untuk bertahan, dan dukungan nyata dari semua pihak.

Jika kita ingin jamu tetap hidup, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Kampanye kesadaran untuk generasi muda tentang pentingnya jamu bisa menjadi langkah awal. Pemerintah juga bisa menciptakan program pembinaan, seperti yang pernah dilakukan di masa lalu. Di sisi lain, inovasi dalam pengemasan dan pemasaran jamu bisa menarik perhatian konsumen modern tanpa mengurangi nilai tradisionalnya.

Bu Katmi, meski lelah, tetap berharap. “Saya ingin generasi muda tahu, jamu bukan hanya minuman. Ini adalah warisan. Kalau hilang, kita tidak hanya kehilangan rasa pahit di lidah, tapi juga sejarah, identitas, dan kebanggaan sebagai bangsa yang kaya akan budaya,” tutupnya dengan mata berbinar.

Hari itu, saat matahari mulai tenggelam, Bu Katmi kembali ke rumahnya yang sederhana. Di pinggangnya, botol-botol jamu tersisa masih tergantung. Ia tahu perjuangannya berat. Tapi ia percaya, di suatu tempat, ada generasi baru yang akan melanjutkan jejaknya, menjaga jamu tetap hidup sebagai warisan Nusantara.(*)

Editor: Ryo Disastro

Related Posts

SAMBILOTO: DIBURU DUNIA UNTUK VAKSIN

Oleh :Dr. Agus Rizal Dosen Universitas Mohammad Husni Thamrin Siapa sangka, tanaman pahit yang dulu hanya dikenal di halaman rumah kini menjadi rebutan dunia? Sambiloto (Andrographis paniculata), yang akrab dijuluki "King of Bitters", tengah naik kelas sebagai...

read more

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *